PENGARUH KEPUTUSAN ICJ DALAM KASUS KEPULAUAN SIPADAN DAN LIGITAN BAGI KEUTUHAN WILAYAH RI
PENDAHULUAN
Presiden Soeharto dan Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad setuju menyelesaikan sengketa Kepulauan Sipadan-Ligitan melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Kedua pemimpin menugaskan Menteri Luar Negeri kedua negara untuk membicarakan prosedur paling tepat dalam membawa masalah tersebut ke Mahkamah Internasional. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, kedua pemimpin setuju menyelesaikan masalah tersebut melalui pihak ketiga. Dalam arti, Presiden Soeharto dan PM Mahathir sepakat menyerahkan penyelesaian sengketa Sipadan-Ligitan kepada pihak yang dianggap bisa menimbang-nimbang masalah tersebut, atau ke Mahkamah Internasional.
ICJ yang berpusat di Den Haag (Belanda) pertama kali memproses pengaduan kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan dari Pemerintah Indonesia bersama Malaysia pada 2 November 1988, setelah keduanya menandatangani kesepakatan khusus di Kuala Lumpur, Malaysia pada 31 Mei 1997 dan menyampaikan ke ICJ tertanggal 14 Mei 1998. Guillaume hakim agung dari Perancis mengemukakan baik Indonesia maupun Malaysia pada 14 Oktober sepakat memberikan waktu selama tiga bulan lagi bagi ICJ untuk mempelajari sejumlah dokumen yang telah diajukan masing-masing pihak, mereka menekankan bahwa perjanjian khususnya tidak mengalami perubahan, selama ini mereka saling melengkapi dokumen sebagai bentuk argumentasi yang diajukan ke ICJ. Dalam catatan ICJ, baik Pemerintah Indonesia maupun Malaysia sama-sama mengajukan kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan dan Ligitan tanpa melupakan dasar semangat persahabatan keduanya sebagai negara di kawasan Asia Tenggara.
Dalam kasus Sipadan-Ligitan yang diselesaikan oleh ICJ (International Court Justice) atau Mahkamah Internasional tersebut timbullah suatu pertanyaan:
1. Bagaimana pengaruh keputusan ICJ atau Mahkamah Internasional dalam kasus Sipadan-Ligitan tersebut terhadap keutuhan wilayah RI?
2. Bagaimana penyelesaian yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang timbulkan pasca lepasnya Sipadan-Ligitan dari wilayah NKRI?
a. Latar Belakang sengketa Sipadan-Ligitan
Luas Pulau Sipadan adalah 13 km², lebih besar dari Pulau Ligitan, terletak di koordinat lintang utara 4°06’ dan 118°37’ garis bujur timur, 42 mil dari pantai timur Pulau Sebatik. Di Ligitan ada semak dan beberapa pohon. Sipadan, pucuk gunung berapi di bawah permukaan laut dengan ketinggian 600-700 meter, lebih rimbun. Hingga tahun 1980-an, Sipadan dan Ligitan tak berpenduduk.
Klaim kepemilikan Pulau dan Sipadan Ligitan oleh Malaysia
Pada tahun 1969 Malaysia mengklaim bahwa Sipadan dan Ligitan adalah milik Malaysia, karena kedua pulau itu berdsarkan chain of title (rantai kepemilikan) merupakan wilayah dibawah kekuasaan Inggris yang menjajah Malaysia sebelum Malaysia menyatakan merdeka. Pada saat itu, Inggris telah membangun penangkaran penyu dan eksploitasi sumber daya alamdi kedua pulau tersebut. Jadi Malaysia melakukan klaim bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan adalah milik Malaysia. Sepeninggalan Inggris dari Malaysia, Malaysia melanjutkan berbagai proyek yang dulu dilakukan Inggris di Pulau Sipadan dan Ligitan. Berbagai proyek tersebut adalah penangkaran penyu, eksploitasi sumberdaya alam, dan Malaysia juga melakukan pengembangan sektor pariwisata dikedua pulau tersebut.
Indonesia dan Malaysia memasukan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi wilayah kedua tersebut. Dan kemudian Indonesia dan Malaysia menyepakati bahwa masalah perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan dibawa dalam keadaan setatus quo. Namun disini Indonesia dan Malaysia mengartikan berbeda. Malaysia malah mengartikan bahwa status quo adalah masih dibawah Malaysia, dan Malaysia pun malah membangun resor parawisata yang dikelola oleh pihak swasta Malaysia sampai masalah ini selesai. Disini pula Malaysia memasukan pulau Sipadan dan Ligitan itu kedalam peta nasionalnya pada tahun 1969. Disini berbeda halnya dengan Indonesia. Dalam status quo ini, Indonesia salah mengartikan. Disini malah Indonesia mengira kedua pulau Sipadan dan Ligitan tidak boleh ditempati, dan tidak boleh diduduki sampai masalah tersebut selesai. Untuk menyelesaikan masalah ini Dewan Tinggi ASEAN menyelesaikan perselisihan Indonesia dan Malaysia. Disini Malaysia menolak bantuan Dewan Tinggi Asean karena Malaysia beranggapan bahwa terlibat sengketa pada Singapore untuk klaim pulau batu puteh. Disini Indonesia mengambil sikap, bahwa masalah ini harus diselesaikan pada Dewan Tinggi ASEAN, dan Indonesia menolak ksusus ini dibawa ICJ (Inteternational Court Justice). Pada tanggal 31 Mei 1997 Presiden Soeharto menyetujui kesepakatan “Final and Binding” berasama dengan perdana mentri Muhatir Muhamad.
Sipadan-Ligitan akan menorehkan momentum penting bagi dua negara dalam penyelesaian sengketa wilayah. Konflik mencuat pada 1969, ketika Malaysia-Indonesia membahas Landas Kontinen. Perselisihan berawal dari perbedaan penafsiran atas Perjanjian 1891 yang dibuat dua kolonialis, Inggris-Belanda, untuk membagi Kalimantan. Delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menuding Malaysia telah melanggar bahkan mencaplok Sipadan, lantaran kedua negara sejak awal telah sepakat tidak ada aktivitas apa pun atas dua pulau yang jadi obyek sengketa. Angkatan laut Malaysia tidak hanya "mengamankan" Sipadan, tapi juga membangun pariwisata dan penangkaran penyu. Lebih dari itu, Indonesia mengklaim kedua pulau itu layak masuk peta kedaulatannya. Tapi, dalam sejumlah kasus, Mahkamah Internasional cenderung memenangkan negara yang lebih dulu melakukan aktivitas di atas sebuah kawasan. Indonesia akan kehilangan Sipadan-Ligitan, dan Malaysia menang?
b. Alasan Pilihan Penyelesaian Sengketa Sipadan-Ligitan Bukan ke ASEAN Melainkan ke Mahkamah Internasional
Dijelaskan, keputusan Malaysia untuk membawa sengketa Sipadan dan Ligitan ke Mahkamah Internasional dan tidak membawanya melalui penyelesaian di ASEAN, lebih disebabkan oleh posisi Malaysia yang juga mempunyai masalah serupa dengan anggota ASEAN lain. Karena itu, Malaysia memilih jalur Mahkamah Internasional. Selain itu, Malaysia pun tidak ingin mewariskan masalah tersebut kepada generasi mendatang. Perdana Menteri sudah mengatakan, isu yang berkaitan dengan tuntutan begini ini bagi Malaysia adalah isu yang sudah melibaskan Malaysia dengan negara-negara ASEAN lain. Indonesia ada masalah yang berkaitan dengan garis batas itu dengan Brunei, dengan Filipina, Thailand, dengan Singapura jadi dalam posisi seperti ini, karena itu diambil pihak ketiga yang paling netral, dan itu ialah ICJ. Dan oleh sebab itu kedua pemimpin telah setuju untuk merujukkan masalah ini ke ICJ.
c. Pertimbangan Mahkamah Internasional Sehingga Malaysia Menang
Kemenangan Malaysia, kata menteri, berdasarkan pertimbangan effectivitee, yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. “Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkain kepemilikan dari Sultan Sulu),” kata Menlu. Di pihak yang lain, MI juga menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891, yang dinilai hanya mengatur perbatasan kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 14 derajat Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik, sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil.
d. Pengaruh Keputusan ICJ Atas Kasus Sipadan-Ligitan Bagi Wilayah dan Perairan Laut Indonesia Serta Hubungan Bilateral Antara Keduanya
Jiwa masyarakat maritim Indonesia disebeut sebagai bangsa yang pelupa dan hal ini tampaknya harus disingkirkan. Karena, akibat label “pelupa” itulah, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kerap terancam. ketidakjelasan pembahasan Undang-undang Batas Wilayah dimanfaatkan negara tetangga untuk “mencaplok” wilayah NKRI. Sementara Indonesia sedang membenahi batas wilayahnya di laut, masalah-masalah sensitif di wilayah laut terus bermunculan.
Dari wilayah perbatasan yang begitu luas, perbatasan di Laut Sulawesi sesungguhnya menjadi dasar konflik Indonesia-Malaysia. Tengok saja mulai dari keputusan International Court of Justice atas kepemilikan Sipadan-Ligitan bagi Malaysia (17 Desember 2002), masalah peta sepihak Malaysia 1979 yang menyeret persoalan tumpang tindih eksplorasi minyak kedua negara di perairan Ambalat, hingga kasus pelanggaran perairan lainnya yang banyak terjadi di laut ini. Belum lagi kasus lainnya seperti illegal trade, penyelundupan manusia, dan sebagainya, yang menjadikan Laut Sulawesi sebagai akses kegiatan ilegal.Apa sesungguhnya yang tengah terjadi?.
Setelah lepas Pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah Indonesia melalui keputusan International Court of Justice (ICJ) 17 Desember 2002, kini muncul konflik baru antara Indonesia-Malaysia mengenai kepemilikan Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Hal ini menunjukkan pengaruh terhadap keputusan ICJ atas kasus Sipadan-Ligitan terhadap kepulauan dan wilayah Indonesia bahwasanya Malaysia merasa pernah memenangkan kasus pulau sebelumnya yakni Sipadan-Ligitan sehingga Malaysia mencoba untuk merebut lagi pulau-pulau dan wilayah Indonesia.
Sebenarnya mengenai sengketa P. Sipadan dan Ligitan bukan hanya mengenai masalah territory saja. Strategisnya kedua pulau bagi kedua negara adalah strategi kontrol keamanan, karena Negara yang menguasai kedua pulau tersebut, pengawasan keamanan bagi masing-masing negara atau negara tetangga lainnya (Filipina) akan lebih dominan. Negara itu akan mendapatkan kontrol terhadap selat Darvel yang menghubungkan Laut Sulawesi ke Laut Tiongkok Selatan. Selain itu, ada juga unsur kepentingan pertahanan di bagian selatan ”dagu anjing” Borneo untuk Malaysia, dan corong utara Selat Makassar bagi Indonesia.
Diberikannya kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia oleh ICJ tentu saja melahirkan potensi berubahnya konfigurasi garis pangkal Indonesia dan Malaysia. Garis pangkal Indonesia kini tidak lagi menggunakan kedua pulau tersebut sebagai titik pangkal sehingga zona laut yang bisa diklaim akan berubah dan cenderung menyempit. Sementara itu, Malaysia menggunakan kedua pulau tersebut sebagai titik pangkal yang konsekuensinya adalah wilayah laut yang bisa diklaim akan melebar ke bagian selatan. Ini juga yang memperkuat klaim Malaysia terhadap ambalat. Secara sepihak, Malaysia telah mengklaim wilayah perairan sepanjang 70 mil kea rah selatan di koordinat garis bujur 120.01.00 Bujur Timur dari garis pantai Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah perairannya. Sementara Indonesia menganggap, kewenangan Malaysia itu hanya 12 mil dari garis pantai kedua pulau tersebut. Padahal secara historis, baik Sipadan, Ligitan, maupun Ambalat sebenarnya merupakan wilayah Kesultanan Bulungan, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Kaltim.
Secara garis besar, masalah pokok dalam delimitasi batas maritim kedua negara adalah karena dalam menetapkan garis batas laut dengan Indonesia, Malaysia tidak mengikuti ketentuan yang dikeluarkan PBB, yaitu United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) tahun 1982. Berdasarkan UNCLOS, Malaysia bukan tergolong negara kepulauan namun dalam kenyataannya telah menerapkan prinsip-prinsip penarikan garis pangkal lurus kepulauan sehingga mengakitbatkan sebagian ZEE Indonesia masuk menjadi bagian dari laut teritorial Malaysia.
Kemudian, klaim Malaysia didasarkan pada konsepsi Landasan Kontinen (continental shelf) yang merupakan kelanjutan alamiah (natural prolongation) dari wilayah daratannya sampai pada ujung luar dari tepian kontinen atau sampai pada jarak 200 mil laut dari garis pangkal. Dengan pandangan Malaysia yang seperti itu adalah keliru. Karena Indonesia adalah sebagai negara kepulauan. Sehingga, Indonesia merupakan negara yang berhak melakukan penarikan garis pangkal dari titik terluar dari pulau terluar. Maka, batas laut teritorial bagian utara pulau Jawa berada di Lautan Sulawesi.
Dalam pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982 menerangkan bahwa pulau – pulau kecil di tengah laut hanya mempunyai laut teritorial, ZEE dan landas kontinen, tetapi tidak bisa dijadikan penetapan batas landas kontinen. Penetapan batas landas kontinen dua negara tidak bisa di mulai dari pulau-pulau kecil, tetapi harus di mulai dari garis pangkal dengan menggunakan normal base line atau straight base line. Karena itu Pulau Sipadan dan Ligitan tidak bisa memakai garis batas landas kontinen dalam penetapannya melainkan di ukur dari garis pangkal laut teritorial di hadapan daratan Sabah dan pulau Sebatik Malaysia.
Dari sisi hukum, Malaysia adalah negara pantai biasa. Oleh karena itu, Malaysia hanya bisa memakai dua tipe penarikan garis pangkal, yaitu normal baseline dan straight baseline untuk semua wilayah laut. Sedangkan, Indonesia adalah negara kepulauan, di antara pulau-pulau Indonesia tidak ada laut bebas. Hal ini disebabkan Indonesia adalah sebagai negara kepulauan. Indonesia dapat menarik garis pangkal (baseline) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost points of the outermost islands and drying reefs). Hal ini, diundangkan dengan UU No. 6/1996 tentang perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No. 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional Indonesia.
Indonesia sudah jelas bisa memakai garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline). Karena itu bisa kita tetapkan mana pulau-pulau terluar Indonesia. Karang Unarang adalah sebenarnya baseline yang mau Indonesia pakai sebagai pengganti baseline Indonesia di Sipadan Ligitan.
Dalam lampiran GR Nomor 38/2002, pulau-pulau Sipadan dan Ligitan adalah lokasi basepoints Indonesia. Karena kedua pulau itu sekarang menjadi milik Malaysia, setelah keputusan ICJ pada bulan Desember 2002, konfigurasi garis pantai sekitar Pulau Sebatik dan Laut Sulawesi harus disesuaikan. Dalam menyiapkan beberapa basepoints alternatif di sekitar Pulau Sebatik, Indonesia telah melakukan serangkaian penelitian dan survei di daerah ini. Dari hasil penelitian, telah ditemukan beberapa Low Tide Elevation's (LTE's) mengelilingi Pulau Sebatik dan Karang Unarang (Unarang
Rock). Untuk mendukung hasil penelitian, BAKOSURTANAL bersama-sama dengan PPGL-DESDM, dan Kantor Hidrografi Angkatan Laut Indonesia telah melakukan survei untuk menentukan basepoints sekitar daerah Kalimantan Timur selama tahun 2004 hingga tahun 2006. Sebagai tindak lanjut dari penelitian dan survei, Indonesia telah menetapkan 4 baru poin menggantikan tiga poin sebelumnya di Pulau Sipadan dan Ligitan. Titik elevasi surut baru ini, yang diatur dalam UNCLOS 1982, mengatakan bahwa ketinggian air surut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi
lebar laut teritorial dari pulau atau daratan, dapat digunakan sebagai
basepoints. Jarak Karang Unarang adalah sekitar 9 Nm dari Pulau Sebatik. Kelayakan Karang Unarang sesuai dengan UNCLOS 1982 yang mengatakan, "Dalam hal pulau terletak pada atol atau pulau-pulau yang memiliki terumbu karang, baseline untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah arah laut-karang, seperti yang ditunjukkan oleh simbol yang sesuai pada grafik resmi diakui oleh Negara pantai ".
Kedudukan Karang Unarang sebagai titik pangkal ini tidak diakui Malaysia. Mereka berdalih bahwa tidak wajar sebuah karang yg tidak terus menerus timbul di permukaan laut dijadikan sebagai titik pangkal. Mereka memaksa Indonesia untuk mundur ke titik pangkal awal, yakni ujung pantai pulau terdekat (P.Sebatik). Malaysia dengan demikian memasukkan Karang Unarang, hingga blok Ambalat dan Bukat ke dalam wilayah klaimnya.
Sejak tahun 1979, Malaysia telah mengklaim Blok Ambalat yang terletak di perairan Laut Sulawesi di sebelah timur Pulau Kalimantan itu sebagai
miliknya, lalu memasukkannya ke dalam peta wilayah negaranya. Dengan
klaim tersebut, melalui Petronas, Malaysia kemudian memberikan konsesi
minyak (production sharing contracts) di Blok Ambalat kepada Shell,
perusahaan minyak Inggris-Belanda. Sebelumnya, kegiatan penambangan migas di lokasi yang disengketakan itu dibagi oleh pemerintah Indonesia menjadi Blok Ambalat dan Blok East Ambalat. Blok Ambalat dikelola kontraktor migas ENI asal Italia sejak tahun 1999, sementara Blok East Ambalat dikelola Unocal Indonesia Ventures Ltd. asal Amerika sejak Desember 2004. Pemerintah Malaysia menyebut Blok Ambalat sebagai ND 6 atau Blok Y, sedangkan blok East Ambalat sebagai ND 7 atau Blok Z. Pemberian konsesi minyak di perairan tersebut memang lebih dulu dilakukan Indonesia kepada berbagai perusahaan minyak dunia, termasuk Shell, sejak tahun 1960-an; antara lain kepada Total Indonesie untuk Blok Bunyu
sejak 1967 yang dilanjutkan dengan konsesi kepada Hadson Bunyu BV pada
1985. Konsesi lainnya diberikan kepada Beyond Petroleum (BP) untuk Blok
North East Kalimantan Offshore dan ENI Bukat Ltd. Italia untuk Blok Bukat pada 1988. Menurut data Ditjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,
kawasan ini memang mempunyai kandungan minyak yang kaya. Di wilayah
perairan timur Kalimantan itu, kandungan minyaknya diperkirakan mencapai 700
juta hingga satu miliar barel, sementara kandungan gasnya diperkirakan
lebih dari 40 triliun kaki kubik (TCF).
Karena ketidakjelasan perbatasan tersebut sering terjadi konflik kapal perang antar Negara di perairan Karang Unarang. Hal ini karena Kapal perang Malaysia sering kali memasuk wilayah perairan NKRI. Dan Kepala Staf TNI AL (KASAL) Laksamana Madya TNI Slamet Soedijanto mengatakan, sesuai dengan ketentuan Hukum Laut Internasional, Indonesia mempunyai hak untuk mengusir kehadiran segenap unsur asing yang mengganggu kedaulatan bangsa di laut termasuk kehadiran kapal-kapal perang Malaysia di perairan Indonesia.
Dengan berpatokan pada pasal 47 KHL 1982 Indonesia membangun mercusuar di atas Karang Unarang untuk dijadikan sebagai titik pangkal kepulauan Indonesia menggantikan Pulau Sipadan dan Ligitan. Indonesia sebagai negara kepulauan berhak menentukan titik-titik pangkal kepulauannya untuk menghubungkan garis pangkal kepulauan sesuai pasal 47 KHL 1982. Karang Unarang yang terletak 12 mil di luar batas klaim maritim Malaysia dijadikan sebagai titik pangkal menghubungkan garis pangkal kepulauan Indonesia untuk menentukan lebar laut teritorial 12 mil laut dan landas kontinen 200 mil laut.
Kemudian, sesuai dengan peraturan maritim internasional, Indonesia sebagai negara kepulauan wajib menjamin keamanan dan keselamatan di wilayah teritorial dan pembangunan lampu suar Karang Unarang merupakan salah satu mekanisme untuk melakukan kewajiban tersebut sehingga hak pengakuan oleh internasional otomatis diperoleh. Jika rambu suar itu selesai dibangun dan bisa dioperasikan maka sangat membantu navigasi maritim internasional sehingga jika ada gangguan dari pihak lain, dalam hal ini Malaysia, maka dunia pelayaran internasional akan mengutuknya. Penyelesaian rambu suar oleh Indonesia sangat penting karena itu menandakan pihak Indonesia menunaikan kewajiban okupansi terhadap wilayah lautnya. Sehingga jika tetap ada klaim maka hal itu bisa dipatahkan.
e. Penyelesaian Masalah yang Timbul pasca Lepasnya Sipadan-Ligitan
Untuk menyelesaikan persoalan klaim yang tumpang tindih ini, harus dilihat kembali rangkaian proses negosiasi antara kedua negara berkaitan dengan penyelesaian perbatasan di Pulau Kalimantan yang sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1974 . Diketahui secara luas bahwa Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, di mana Ambalat berada, memang belum terselesaikan secara tuntas. Ketidaktuntasan ini sesungguhnya sudah berbuah kekalahan ketika Sipadan dan Ligitan dipersoalkan dan akhirnya dimenangkan oleh Malaysia. Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya, baik secara damai maupun militer.
Penyelesaian damai akan terdiri dari dua fase. Fase pertama adalah pembicaraan untuk mengeksplorasi dan mengetahui posisi masing-masing negara atas klaimnya di blok Ambalat. Fase kedua dalam penyelesaian damai adalah bagaimana kedua negara bisa menyepakati jalan keluar dari klaim tumpang tindih (overlapping claims) atas perairan di laut Sulawesi. Diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya diperkuat argumen yang sesuai fakta di lapangan, yaitu lima kapal laut nelayan Malaysia telah mencuri ikan, memasuki wilayah Indonesia tanpa izin, dan aparat Kepolisian Malaysia menembaki dan menangkap petugas DKP Indonesia.
Seharusnya, jika ada kapal asing yang masuk ke wilayah Indonesia tanpa izin dan melakukan tindakan penangkapan, pemerintah dengan segera mengeluarkan nota protes dan jika dipandang perlu pemerintah bisa memberikan ultimatum untuk memutuskan hubungan diplomatik.
Kemudian, diperlukan juga dukungan dari rakyat atas upaya pemerintah dalam menyelesaikan kasus tersebut dan tetap menjaga nilai-nilai persatuan dan kesatuan NKRI, terutama rakkyat yang tinggal di daerah perbatasan, untuk menjaga rasa nasinalisme nya. Namun hal ini juga harus diiringi dengan usaha pemerintah untuk melakukan pemerataan dalam mensejahterakan rakyat hingga rakyat yang di ujung Indonesia.
Selain itu, diperlukan juga Undang-undang yang jelas dalam menentukan batas-batas wilayah Indonesia, jangan sampai kelalaian Indonesia dalam mencantumkan Pulau Sipadan dan Ligitan dalam prundang-undangan sebagai bagian dari NKRI terulang dan menjadi dasar bagi Negara lain untuk merebutnya. Seluruh pulau terluar RI khususnya yang berbatasan dengan Negara tetangga harus memiliki status yang jelas.
Dan yang terakhir, walaupun kta mengutamakan perdamaian dalam menyelesaikan masalah ini, tapi kita juga harus siap atas kemungkinan yang terjadi, termasuk dengan kemungkinan konfrontasi militer langsung. TNI yang bertugas untuk menjaga wilayah kedaulatan NKRI harus senantiasa siaga untuk memperjuangkan kedaulatan RI apabila ada pihak yang berani mengusiknya. Dalam hal ini diperlukan sarana dan anggaran yang harus dipersiapkan dengan baik. Idealnya, untuk menjaga dan mengendalikan wilayah laut yang luasnya 6 jutaan km persegi, TNI AL memerlukan sedikitnya 478 KRI (Kapal Republik Indonesia) dan 228 pesawat udara berbagai jenis. Kondisi pada tahun 2003, TNI AL baru memiliki 114 KRI dan 53 pesawat udara. Kalaupun ada pertambahan, jumlahnya per tahun tidaklah signifikan. Akibatnya, pola pengamanan yang diterapkan TNI AL lebih bersifat prioritas-selektif.
KESIMPULAN
Diberikannya kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia oleh ICJ tentu saja melahirkan potensi berubahnya konfigurasi garis pangkal Indonesia dan Malaysia. Garis pangkal Indonesia kini tidak lagi menggunakan kedua pulau tersebut sebagai titik pangkal sehingga zona laut yang bisa diklaim akan berubah dan cenderung menyempit. Indonesia telah menetapkan 4 baru poin menggantikan tiga poin sebelumnya di Pulau Sipadan dan Ligitan, yaitu di karang unarang. Tapi hal ini tidak diakui oleh Malaysia. Karena itu, perbatasan Indonesia-Malaysia merupakan isu sensitif dalam hubungan kedua negara. Perselisihan tersebut disebabkan penggunaan peta yang berbeda dan rumitnya penentuan perbatasan laut, terutama dengan negara kepulauan. Sengketa dengan Malaysia bermula dari peta yang diterbitkan Malaysia pada 21 Desember 1979. Dalam peta tersebut tergambar wilayah Malaysia yang tumpang tindih dengan Indonesia.
Lepasnya Sipadan–Ligitan tidak lepas dari kenyataan betapa lemahnya Indonesia dari sisi administratif, di mana pemerintah tidak berusaha mencari bukti-bukti sejarah, misalnya dari keluarga Sultan Bulungan yang ada di Tanjung Selor, yang pernah menguasai kedua pulau tersebut. Di samping itu, Indonesia lemah dari sisi eksistensi. Faktanya secara de facto pemerintah diam dan tidak bertindak ketika Malaysia mempromosikan sebagai tujuan wisata sejak 1988. Bahkan, Indonesia hanya berani menetapkan status quo kedua pulau tersebut.
Pasca kasus Sipadan dan Ligitan, Malaysia langsung mengklaim laut teritorial dan ZEE yang menumpangi laut teritorial, termasuk karang Unarang dan blok Ambalat. Secara pasti Mahkamah Internasional tidak memutuskan mencabut konvensi dan protokol London tersebut dan tidak mengatur batas wilayah Indonesia dan Malaysia. Walau berdasarkan Unclos 1992, blok Ambalat termasuk wilayah Indonesia, tapi Indonesia memiliki trauma politik yang tidak mengenakkan pasca kalah di Mahkamah Internasional soal Pulau Sipadan-Ligitan. Dengan percaya diri, 2005 Malaysia mengklaim blok Ambalat sebagai wilayahnya. Bahkan Malaysia sudah menawarkan kawasan ini kepada perusahaan minyak multinasional, Shell.
Sebenarnya Malaysia bukanlah Negara kepulauan seperti yang telah ditentukan dalam UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Dalam pasal 121 UNCLOS 1982 menerangkan bahwa pulau – pulau kecil di tengah laut hanya mempunyai laut teritorial, ZEE dan landas kontinen, tetapi tidak bisa dijadikan penetapan batas landas kontinen. Penetapan batas landas kontinen dua negara tidak bisa di mulai dari pulau-pulau kecil, tetapi harus di mulai dari garis pangkal dengan menggunakan normal base line atau straight base line[25]. Karena itu Pulau Sipadan dan Ligitan tidak bisa memakai garis batas landas kontinen dalam penetapannya melainkan di ukur dari garis pangkal laut teritorial di hadapan daratan Sabah dan pulau Sebatik Malaysia.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan masalah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia baik dari jalur Diplomasi maupun militer. Tapi terhadap masalah ini belum didapatkan jalan keluarnya.
Keputusan mahkamah Internasional tentang kasus perebutan pulau sipadan ligitan antara Indonesia dan Malaysia. Dalam http://diplomacy945.blogspot.com. Diakses Selasa tanggal 26 April 2011.