Memahami Penyelesaian Sengketa WTO
PENDAHULUAN
WTO, yang didirikan pada tahun 1995, berawal dari negosiasi yang disebut “Uruguay Round” (1986-1994) serta perundingan sebelumnya di bawah “General Agreement on Tariffs and Trade” (GATT). GATT telah membantu menciptakan suatu sistem perdagangan yang kuat dan bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi global. WTO terdiri dari 153 negara anggota, dimana 117 di antaranya merupakan negara berkembang atau wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah “Doha Development Agenda” (DDA) yang dimulai tahun 2001. Kegiatan WTO didukung oleh sejumlah 649 staf yang dipimpin oleh Direktur Jenderal WTO. [1]
Perdagangan bebas dewasa ini menuntut semua pihak untuk memahami persetujuan perdagangan internasional dengan segala implikasinya terhadap perkembangan ekonomi nasional secara menyeluruh. Persetujuan-persetujuan yang ada dalam kerangka WTO bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan dunia yang mengatur masalah-masalah perdagangan agar lebih bersaing secara terbuka, fair dan sehat. Hal tersebut tampak dalam prinsip-prinsip yang dianut oleh WTO yaitu prinsip Nondiscrimination, Transparency, Stability and predictability of trade regulations, Use of tariffs as instruments of protection dan Elimination of unfair competition. Terkait dengan prinsip predictability of trade regulations.[2]
WTO merupakan satu – satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan – aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara – negara anggota.[3]
Cara-cara dan aturan penyelesaian sengketa yang terdapat dalam GATT 1947 dirasakan sudah tidak mampu lagi mendukung sistem perdagangan internasional yang ada. Sehingga Negara-negara akhirnya menyepakati aturan-aturan penyelesaian sengketa yang baru sebagaimana terdapat dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes atau biasa disingkat Dispute Settlement Understanding (DSU).[4]
Perselisihan merupakan tanggung jawab dari Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body), yang terdiri dari seluruh anggota WTO. Badan Penyelesaian Sengketa memiliki otoritas tunggal untuk membentuk "panel" ahli untuk mempertimbangkan kasus, dan untuk menerima atau menolak temuan panel 'atau hasil banding. Ia memantau pelaksanaan peraturan dan rekomendasi, dan memiliki kekuasaan untuk mengotorisasi pembalasan ketika suatu negara tidak sesuai dengan putusan.[5] Bagaimanah proses & tahapan-tahapan penyelesaian sengketa tersebut?
PENYELESAIAN SENGKETA GATT 1947
Sebelum membahas beberapa aspek penyelesaian sengketa dalam WTO, terlebih dahulu akan diuraikan beberapa hal mengenai penyelesaian sengketa GATT (General Agraament on Tariffs and Trade) 1947 sebagai pendahulu WTO.
GATT tidak memiliki kesatuan prosedur penyelesaian sengketa melainkan aturan-aturan yang terpisah-pisah. Di satu sisi terdapat sistem konsiliasi dan penyelesaian sengketa bersifat umum yang didasarkan Pasal XXII dan XXIII, dan disisi lain terdapat prosedur penyelesaian sengketa yang khusus sebagaimana terdapat dalam berbagai dokumen yang dihasilkan perundingan perdagangan Putaran Tokyo 1979. Menurut Pasal XXII ayat (1) GATT, setiap negara peserta harus memberikan pertimbangan yang simpatik kepada negara peserta lain, serta memberikan kesempatan yang cukup untuk berkonsultasi mengenai hal-hal yang diajukan negara peserta lain yang ada pengaruhnya terhadap pelaksanaan Perjanjian. Pasal ini mengatur konsultasi dua tahap. Pertama, di antara sesama negara peserta GATT, kemudian Contracting Parties, negara peserta secara bersama-sama. Pasal ini telah disempurnakan dari waktu ke waktu. Sedangkan Pasal XXIII menentukan kapan suatu negara peserta dapat menggunakan prosedur ini guna melindungi kepentingannya[6].
Dari perjalanannya, GATT 1947 belum dapat memberikan kepuasan bagi Negara anggota karena GATT hanyalah merupakan sekumpulan aturan sehingga bila terjadi sengketa antar anggota tidak dapat diselesaikan karena GATT tidak memiliki Badan Penyelesaian Sengketa. Dari pengalaman tersebut maka pada perundingan Akhir Putaran Uruguay 1994, para Menteri Perdagangan anggota GATT bersepakat untuk mendirikan suatu organisasi yang kuat yaitu WTO, yang berdiri secara resmi pada tanggal 1 Januari 1995[7].
PENYELESAIAN SENGKETA WTO
WTO adalah organisasi perdagangan dunia yang berfungsi untuk mengatur dan memfasilitasi perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk menciptakan persaingan sehat dibidang perdagangan internasional bagi para anggotanya. Sedangkan secara filosofis tujuan WTO adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan, menjamin terciptanya lapangan pekerjaan, meningkatkan produksi dan perdagangan serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dunia. Prinsip pembentukan dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan batas wilayah, memberikan jaminan atas “most-favored-nation principle” (MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan di antara negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam semua kegiatannya. Terbukanya pasar nasional terhadap perdagangan internasional, dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas.[8]
Anggota-anggota WTO telah melakukan komitmen mereka untuk tidak mengambil aksi unilateral terhadap penyimpangan dari aturan perdagangan, tetapi mencari jalan di dalam suatu sistem penyelesaian perselisihan multilateral dan mematuhi aturan-aturan dan putusan-putusannya. Dengan menandatangani dan meratifikasi WTO, tiap negara anggota mempunyai hak hukum untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif oleh anggota WTO lainnya baik perlakuan dibidang tarif, non tarif maupun perlakuan secara nasional (national treatment)[9].
Mekanisme penyelesaian sengketa dalam perjanjian WTO sekarang ini
intinya berpatokan pada ketentuan pasal XXII-XXIII GATT 1947. Dengan
berdirinya WTO, ketentuan-ketentuan GATT 1947 kemudian terlebur ke
dalam aturan WTO. Isi kedua pasal ini pada pokoknya sederhana saja. Penyelesaiannya
melalui perundingan atau negosiasi dan apabila gagal diselesaikan
dengan membentuk suatu panel (atau kelompok kerja)[10].
intinya berpatokan pada ketentuan pasal XXII-XXIII GATT 1947. Dengan
berdirinya WTO, ketentuan-ketentuan GATT 1947 kemudian terlebur ke
dalam aturan WTO. Isi kedua pasal ini pada pokoknya sederhana saja. Penyelesaiannya
melalui perundingan atau negosiasi dan apabila gagal diselesaikan
dengan membentuk suatu panel (atau kelompok kerja)[10].
Sengketa di WTO pada dasarnya tentang janji. Anggota WTO telah sepakat bahwa jika mereka percaya sesama anggota melanggar aturan perdagangan, mereka akan menggunakan sistem penyelesaian perselisihan multilateral dan bukan mengambil tindakan sepihak. Itu berarti mematuhi prosedur yang telah disepakati, dan menghormati keputusan. Sengketa muncul ketika satu negara mengadopsi ukuran kebijakan perdagangan atau mengambil beberapa tindakan yang satu atau lebih rekan-anggota WTO mempertimbangkan untuk melanggar perjanjian WTO, atau menjadi gagal memenuhi kewajibannya. Kelompok ketiga negara dapat menyatakan bahwa mereka memiliki kepentingan dalam kasus ini dan menikmati beberapa hak.
Prosedur penyelesaian sengketa dagang dalam WTO diatur dalam artikel XXII dan XXIII GATT 1994 dan Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU)[11]. Tergugat dalam tempo 10 hari (kecuali disepakati lain) harus menyampaikan jawaban atas permintaan tersebut. Jika dalam 10 hari tidak ada jawaban atau tidak melakukan konsultasi dalam jangka waktu 30 hari, pihak penggugat dapat meminta DSB untuk dibentuk panel[12]. Disamping prosedur resmi, Dirjen WTO/GATT berdasarkan kapasitas sebagai pejabat tinggi WTO dapat menawarkan perdamaian kepada kedua belah pihak yang bersengketa.
DISPUTE SETTLEMENT UNDERSTANDING (DSU)
Dalam penyelesaian sengketa ini, negara-negara anggota WTO menegaskan lagi keyakinannya terhadap prinsip-prinsip penyelesaian sengketa Pasal XXII dan Pasal XXIII GATT 1947 sebagaimana dikembangkan dalam perjanjian baru ini yaitu DSU.
Di dalam pasal-pasal yang terdapat pada DSU ditegaskan adanya beberapa lembaga penting dalam mekanisme penyelesaian sengketa WTO yang sangat perlu untuk diketahui yaitu:
J Dispute Settlement Body (DSB). Badan ini dibentuk oleh WTO Agreement dan berfungsi untuk mengelola aturan-aturan dan prosedur dan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian tertutup, konsultasi dan ketentuan penyelesaian sengketa dari perjanjian tertutup. Oleh karena itu, DSB berwenang untuk membentuk panel, mengadopsi panel dan Mahkamah laporan Badan, mempertahankan pengawasan pelaksanaan keputusan dan rekomendasi, dan memberikan kewenangan penangguhan konsesi dan kewajiban lainnya berdasarkan perjanjian tertutup. Sehubungan dengan sengketa yang timbul berdasarkan perjanjian tertutup yang merupakan Persetujuan Perdagangan Plurilateral, istilah "Anggota" yang digunakan disini hanya mengacu kepada mereka Anggota yang merupakan pihak dalam Perjanjian Perdagangan Plurilateral relevan. Dimana DSB mengelola ketentuan penyelesaian sengketa dari Persetujuan Perdagangan Plurilateral, hanya anggota yang pihak pada Persetujuan yang dapat berpartisipasi dalam keputusan atau tindakan yang diambil oleh DSB sehubungan dengan sengketa itu.[13]
J Panel. Atas permintaan para pihak akan dibentuk sebuah Panel yang keanggotaannya terdiri dari individu-individu pemerintah dan/atau non pemerintah yang cakap, pernah bertugas sebagai utusan negara di WTO, atau mengajar, atau menerbitkan buku tentang hukum atau kebijakan perdagangan internasional, juga yang pernah bertugas sebagai pejabat perdagangan senior di negara-negara anggota.[14] Penalis akan menjalankan tugasnya dalam kapasitas pribadi, bukan sebagai utusan pemerintah atau organisasi[15] Fungsi panel adalah membantu DSB dalam membuat rekomendasi atau keputusan. Panel harus berkonsultasi secara teratur dengan pihak-pihak yang bersengketa dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak[16].
J Lembaga Banding (Appellate Body). Dispute Settlement Body mendirikan Lembaga Banding permanen yang akan mengadili banding dari tingkat Panel. Lembaga ini terdiri atas tujuh orang personil, dan tiga diantaranya akan bertugas dalam setiap kasus.[17] Lembaga ini terdiri atas orang-orang yang kemampuannya diakui, baik di bidang hukum perdagangan internasional mau pun persoalan – persoalan yang diatur perjanjian WTO pada umumnya, dan tidak berafiliasi dengan pemerintah.[18] Pengajuan banding terbatas pada persoalan hukum yang terdapat dalam laporan Panel serta interpretasi yang dilakukan Panel. Lembaga Banding berwenang pula untuk mempertahankan, mengoreksi dan merubah temuan hukum serta kesimpulan Panel.[19]
Selain penyediaan sarana penyelesaian sengketa secara hukum, DSU memberi kesempatan kepada para pihak untuk mencapai kesepakatan dengan cara konsultasi, jasa-jasa baik (good offices), konsiliasi, dan mediasi.[20]
PROSES ATAU TAHAPAN-TAHAPAN PENYELESAIAN SENGKETA DAN TUGAS DSB (DISPUTE SETTLEMENT BODY)
Proses penyelesaian sengketa menjadi tanggung jawab Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) yang merupakan penjelmaan dari Dewan Umum (General Council/GC). satu-satunya badan yang memiliki otoritas membentuk Panel yang terdiri dari para ahli yang bertugas menelaah kasus. DSB dapat juga menerima atau menolak keputusan Panel atau keputusan pada tingkat banding. DSB tersebut memonitor pelaksanaan putusan-putusan dan rekomendasi serta memiliki kekuasaan/wewenang untuk mengesahkan retaliasi jika suatu negara tidak mematuhi suatu putusan. Tiap pihak yang bersengketa dapat mengajukan banding atas putusan panel. Kadang-kadang kedua belah pihak sama-sama mengajukan banding.
DSU telah memperketat tahapan-tahapan penyelesaian sengketa: jika salah satu anggota meminta berkonsultasi dengan anggota lain, anggota lain yang dimintai konsultasi harus memberikan respon dalam tempo 10 hari yakni konsultasi harus dilakukan dalam waktu 30 hari sejak diajukannya permintaan dan harus tuntas dalam tempo 60 hari sejak diajukannya permintaan. Jika salah satu batas waktu tersebut tidak di penuhi, pihak yang mengadukan dapat langsung meminta pembentukan Panel.[21] Panel ini harus dibentuk pada pertemuan DSB berikutnya setelah menerima permintaan ini, dan atas permintaan pihak yang mengadu suatu pertemuan khusus DSB harus diadakan dalam tempo 15 hari dengan tujuan membentuk suatu Panel untuk memeriksa perselisihan, kecuali dalam pertemuan tersebut DSB secara konsensus memutuskan untuk tidak membentuk Panel.[22] Dalam hal ini dapat dilihat perbedaan antara DSB dengan GATT 1947 dimana dalam prakteknya GATT 1947 menentukan bahwasanya pembentukan Panel harus didasarkan pada suara bulat (konsensus) dimana pihak yang merasa akan dirugikan selalu dapat merintangi atau setidaknya menunda pembentukan Panel sedangkan DSB memiliki sitem baru yang pembentukan Panel secara otomatis kecuali jika secara konsensus DSB memutuskan untuk tidak membentuk Panel tersebut.
Tugas DSB tidak hanya sampai di pemberian rekomendasi atau putusan saja, tapi sampai pada pengawasan implementasi putusan atau rekomendasinya. Jika laporan yang diterima DSB menyebutkan bahwa tindakan yang dikeluhkan adalah bertentangan dengan General Agreement atau salah satu dari covered agreements, maka rekomendasi yang diberikan mengizinkan pihak yang menang untuk melakukan retaliasi, untuk menangguhkan konsensi atau kewajiban lainnnya terhadap pihak yang melakukan pelanggaran. Tingkat retaliasi harus setara dengan perjanjian internasional yang relevan.
Berikut ini agar lebih sistematis dalam memahami jangka waktu dalam penyelesaian sengketa. Periode ini perkiraan untuk setiap tahap dari prosedur penyelesaian sengketa adalah angka target - perjanjian fleksibel. Selain itu, negara dapat menyelesaikan perselisihan mereka sendiri pada setiap tahap. Total juga perkiraan. [23]
60 days (60 hari) | Consultations, mediation, etc (Konsultasi, mediasi, dll) |
45 days (45 hari) | Panel set up and panellists appointed (Panel mengatur dan panelis ditunjuk) |
6 months (6 bulan) | Final panel report to parties (panel Laporan akhir kepada pihak) |
3 weeks (3 minggu) | Final panel report to WTO members (laporan panel Final ke WTO anggota) |
60 days (60 hari) | Dispute Settlement Body adopts report (if no appeal) (Badan Penyelesaian Sengketa mengadopsi laporan (jika banding tidak ada) |
Total = 1 year (Total = 1 tahun) | without appeal (Tanpa banding) |
60-90 days (60-90 hari) | Appeals report (Banding Laporan) |
30 days (30 hari) | Dispute Settlement Body adopts appeals report (Badan Penyelesaian Sengketa mengadopsi banding laporan) |
Total = 1year 3month (Total = 1th 3bln) | with appeal (Dengan banding) |
Perselisihan Penampungan merupakan tanggung jawab dari Badan Penyelesaian Sengketa (Dewan Umum secara samar), yang terdiri dari seluruh anggota WTO. Badan Penyelesaian Sengketa memiliki otoritas tunggal untuk membentuk "panel" ahli untuk mempertimbangkan kasus ini, dan untuk menerima atau menolak temuan panel 'atau hasil banding. Ia memantau pelaksanaan peraturan dan rekomendasi, dan memiliki kekuasaan untuk mengotorisasi pembalasan ketika suatu negara tidak sesuai dengan putusan.
A First stage: consultation (up to 60 days ). Tahap pertama: konsultasi (sampai 60 hari). Sebelum mengambil tindakan lain negara dalam sengketa harus berbicara satu sama lain untuk melihat apakah mereka dapat menyelesaikan perbedaan mereka sendiri. Jika gagal, mereka juga dapat meminta direktur jenderal WTO untuk menengahi atau mencoba membantu dengan cara lain.
A Second stage: the panel (up to 45 days for a panel to be appointed, plus 6 months for the panel to conclude). Tahap Kedua: panel (sampai 45 hari untuk panel yang akan ditunjuk, ditambah 6 bulan untuk panel untuk menyimpulkan). Jika konsultasi gagal, negara mengeluh dapat meminta untuk panel yang akan ditunjuk. Negara "di dermaga" dapat memblokir pembentukan panel sekali, tapi ketika Badan Penyelesaian Sengketa bertemu untuk kedua kalinya, pengangkatan tidak lagi dapat diblokir (kecuali ada konsensus terhadap penunjukan panel).
Secara resmi, panel adalah membantu Badan Penyelesaian Sengketa membuat keputusan atau rekomendasi. Tapi karena laporan panel tersebut hanya dapat ditolak oleh konsensus dalam Badan Penyelesaian Sengketa, kesimpulannya sulit untuk membatalkan. Temuan panel harus berdasarkan perjanjian dikutip.
Laporan akhir panel yang biasanya harus diberikan kepada para pihak yang bersengketa dalam waktu enam bulan. Dalam kasus yang mendesak, termasuk barang-barang tahan lama tentang, batas waktu dipersingkat sampai tiga bulan.
Perjanjian ini menjelaskan secara rinci bagaimana panel adalah untuk bekerja. Tahap utama adalah:
A Before the first hearing: Sebelum sidang pertama: masing-masing sisi dalam sengketa menyajikan kasus secara tertulis kepada panel.
A First hearing: the case for the complaining country and defence: pendengaran Pertama: kasus untuk mengeluh dan pertahanan negara: negara mengeluh (atau negara), negara menanggapi, dan mereka yang telah mengumumkan mereka memiliki kepentingan dalam sengketa, membuat kasus pertama mereka di sidang panel.
A Rebuttals: Sanggahan: negara yang terlibat menyampaikan tertulis sanggahan dan argumen lisan hadir pada pertemuan kedua di panel.
A Experts: Ahli: jika satu sisi menimbulkan hal-hal lain teknis atau ilmiah, panel dapat berkonsultasi dengan ahli atau menunjuk kelompok kajian ahli untuk mempersiapkan laporan penasehat.
A First draft: Rancangan Awal: panel menyerahkan bagian deskriptif (faktual dan argumen) laporan kepada kedua belah pihak, memberi mereka dua minggu untuk komentar. This report does not include findings and conclusions. Laporan ini tidak termasuk temuan-temuan dan kesimpulan.
A Interim report: Laporan Interim: Panel kemudian mengajukan laporan sementara, termasuk temuan dan kesimpulan, ke dua sisi, memberi mereka satu minggu untuk meminta review.
A Review: Periode review tidak boleh melebihi dua minggu. Selama waktu itu, Panel dapat mengadakan pertemuan tambahan dengan dua sisi.
A Final report: Laporan akhir: laporan akhir ini diserahkan kepada kedua belah pihak dan tiga minggu kemudian, itu diedarkan kepada semua anggota WTO. Jika panel memutuskan bahwa ukuran perdagangan disengketakan tidak melanggar perjanjian WTO atau kewajiban, itu merekomendasikan bahwa mengukur dibuat untuk menyesuaikan dengan aturan WTO. Panel mungkin menyarankan bagaimana hal ini bisa dilakukan.
A The report becomes a ruling: Laporan tersebut menjadi putusan: Laporan ini menjadi Badan Penyelesaian Sengketa yang berkuasa atau rekomendasi dalam waktu 60 hari kecuali konsensus menolaknya. Kedua belah pihak dapat mengajukan banding laporan (dan dalam beberapa kasus kedua belah pihak melakukannya).
INDONESIA BERGABUNG DENGAN WTO
Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang - Undang No. 7 Tahun 1994. Dengan ratifikasi tersebut, maka negara-negara anggota WTO, dalam hal ini juga Indonesia, harus menyesuaikan peraturan nasionalnya dengan ketentuan - ketentuan yang ada dalam persetujuan-persetujuan WTO. Indonesia sebagai negara anggota WTO juga memiliki kewenangan untuk malakukan tuduhan anti dumping berupa pengenaan bea masuk anti dumping, tuduhan anti - subsidi dalam hal ini yaitu pengenaan bea masuk imbalan dan tindakan safeguard berupa pengenaan tarif, kuota atau keduanya.
Akhir-akhir ini Indonesia menjadi sasaran melakukan “Unfair trade Practies” khususnya dumping dari negara mitra dagang. Ekspor Indonesia yang dituduh melakukan dumping tercatat sebanyak 37 kasus. Sebaliknya ada sejumlah barang impor yang harganya sangat murah dan ditengarai sebagai barang dumping.[24] Dalam menghadapi kenyataan tersebut Indonesia telah mempersiapkan diri dimulai dengan disahkannya UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dilanjutkan dikeluarkannya PP No.34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan yang mengacu pada ketentuan WTO mengenai Anti-Dumping dan Antisubsidi yaitu Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tentang Antisubsidi. Dilanjutkan dengan pembentukan KADI (Komite Anti-Dumping Indonesia) melalui Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 136/MPP/Kep/6/1996 dan Tim Operasional Anti Dumping (TOAD) tencantum dalam Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No.172/MPP/Kep/7/1996.
PENUTUP
DSU sebagai peraturan mengenai sistem penyelesaian sengketa pasti memiliki kelemahan- kelemahan, ditambah pula aturannya harus berfungsi dalam kerangka hukum internasional publik. Pada faktanya, lebih dari 300 perkara telah diterima WTO[25] yang proses penyelesaian sengketa menjadi tanggung jawab Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) yang merupakan penjelmaan dari Dewan Umum (General Council/GC). Oleh karena itu, hal ini merupakan kemajuan besar dibandingkan dengan sistem GATT 1947.
Maka dari itu, perlunya meningkatkan kemampuan nasional selain memanfaatkan secara maksimal bantuan dan pelatihan yang disediakan WTO sebagai negara yang berkembang khususnya Indonesia ini sehingga Indonesia tidak lagi harus memaksakan diri berperang tanpa pedang[26] sehingga solusi apa yang sebenarnya perlu dilakukan? Solusi yang dibutuhkan memang bukan sekadar pertemuan arahan para menteri, pertemuan setingkat dirjen untuk membahas materi perundingan dalam waktu sebulan sebelum perundingan. Solusi yang lebih tepat adalah kontinuitas komunikasi antara pemerintah dan pengusaha dalam menghadapi perkembangan isu-isu, aturan-aturan di WTO, dan kebijakan-kebijakan dari negara-negara tertentu atas suatu isu di WTO. Apalagi Indonesia pernah dikalahkan dalam kasus MOBNAS.[27]
Indonesia harus siap, mau tidak mau harus mengikuti perdagangan bebas. Tidak hanya menyatakan sikap siap saja dan ikut – ikutan meratifikasi peraturan internasional. Melainkan Indonesia berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai Negara Maju bukan lagi Negara Berkembang agar negara kita makmur dan damai, tiada lagi perang pemikiran dan penjajahan secara batin di dalamnya.
[2] Lihat: http://ditjenkpi.depdag.go.id
[3] http://binchoutan.wordpress.com
[4] Syahmin AK, Aspek Negatif-Positif DSU WTO. Dalam majalah ilmiiah Fakultas Hukum UNSRI Simbur Cahaya No.38 Tahun XIII Januari 2009.
[5] http://www.wto.org
[6]Syahmin AK., Op.Cit. hlm 1
[7] http://ditjenkpi.depdag.go.id
[9] Freddy Josep Pelawi. Staf Advokasi Tuduhan Dumping, Direktorat Pengamanan Perdagangan, Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan Republik Indonesia
[10] Huala Adolf. Dosen hukum ekonomi international pada FH Universitas Pajajaran Bandung dalam web.nya http://www.hamline.edu
[11] Article XXII dan XXIII GATT 1994 dan Artikel 4 DCU
[12] Artikel 4.3 DSU
[24] Syahmin Ak. Hukum Dagang Internasional . Jakarta: P.T.RajaGrafindo Persada Tahun 2006 Bab 8 tentang Masalah Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Dalam Kerangka WTO hlm 225
[26]http://els.bappenas.go.id/upload/other/Indonesia%20di%20WTO%20Ibarat%20Berperang%20Tanpa%20Pedang.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar